Evakuasi berjalan kacau pasca gempa berkekuatan besar yang mengguncang Aceh |
Jepang terpukul tsunami 11 Maret 2011. Seandainya bukan Jepang, lebih parah (Reuters Photo) |
Lemahnya sistem informasi membuat warga bergerak sendiri dan terjebak di titik yang sama.
ini yang terjadi pada Rabu 11 April 2012 di Padang paska gempa pertama berkekuatan 8,5 Skala Richter mengguncang Aceh: sirine peringatan dini tsunami di Komplek GOR H Agus Salim meraung-raung, 30 menit setelah guncangan terjadi.Sebanyak 920 ribu warga Padang serempak dilanda panik. Tanpa komando, mereka langsung mengevakuasi diri ke lokasi yang lebih tinggi.
Keinginan menyelamatkan nyawa menimbulkan kemacetan hebat di sejumlah titik menuju jalan By Pass, sekitar 7 kilometer dari bibir pantai. Wajah-wajah tegang makin frustrasi menyaksikan lalu lintas yang sedemikian semrawut. Deru sepeda motor berpenumpang sampai empat orang dipacu cepat, membuat warga makin khawatir.
"Pikiran kami saat itu hanya menjauh dari pantai," ujar Ria, mahasiswi semester akhir Fakultas Ekonomi, Universitas Negeri Padang, menceritakan apa yang ia rasakan Rabu lalu kepada VIVAnews.com. Bagaimana tidak, rumah kos yang ia tempati hanya berjarak sekitar 500 meter dari bibir pantai.
Menyambar tas berisi laptop berisi data skripsi, ia dan rekan-rekannya memacu sepeda motor, di antara warga nelayan yang berlarian menjauhi pantai. Menuju arah By Pass. "Di simpang tunggul hitam mulai terjebak macet, suasana semakin kacau,” kata dia.
Butuh satu jam lebih untuk dia dan satu orang temannya mencapai Lubuk Lintah, Kecamatan Kuranji, Padang yang berjarak sekitar 9 kilometer dari rumah kosnya. “Itu pun karena Ria lari begitu usai gempa, kalau telat sedikit saja pasti sudah terjebak macet panjang,” ujarnya.
Padahal, di kawasan kampus Universitas Negeri Padang, yang lebih dekat, telah disiapkan sedikitnya tiga gedung yang berfungsi sebagai tempat evakuasi tsunami atau shelter. Shelter ini berada di Masjid Al Azhar depan kampus, gedung FE UNP, dan gedung MKU. Tapi, menurut Ria, tak banyak dari warga setempat yang memanfaatkannya. Mereka lebih memilih untuk menjauhi pantai.
Itu kepanikan yang tak seharusnya terjadi. Manajer Pusat Pengendali Operasi Penanggulangan Bencana Sumbar Ade Edward mengakui lemahnya informasi publik jadi pokok permasalahan.
"Ini karena tidak ada komando yang mengarahkan warga ke mana mesti melakukan evakuasi sehingga menyebabkan kemacetan di jalur evakuasi,” kata Ade Edward.
Menurut Ade, lemahnya informasi publik membuat warga bergerak sendiri dan terjebak di titik yang sama. Tak terbayang jika tsunami benar-benar terjadi kala itu. "Masih banyak yang harus kita siapkan seperti fasilitas jalur evakuasi, shelter, dan fasilitas informasi publik," ujarnya.
Ade mengakui, pihaknya mendapat laporan dari BMKG pusat bahwa daerah awas pasca gempa Aceh kemarin adalah Siberut dan Mentawai. Sedangkan daratan pesisir Sumbar hanya berstatus waspada dan siaga. “'Waspada' dan 'siaga' itu dalam SoP tidak perlu evakuasi, 'awas' yang harus evakuasi, ini yang perlu kita perbaiki ke depan,” ujarnya.
Informasi ini yang menurutnya tidak sepenuhnya diterima masyarakat dengan baik sehingga menimbulkan kepanikan. Sementara soal sirine yang terlambat berbunyi, Ade mengatakan itu sepenuhnya di luar jangkauannya.
Sejak dinonaktifkan beberapa waktu lalu, kendali aktivitas Indonesia EarlyWarning System (INA TEWS) dipegang BMKG Pusat dan Padang Panjang. Keterlambatan ini yang ditengarai memberikan informasi simpang siur pada masyarakat di pantai barat Sumbar. Padahal, dari pantauan warga, air laut tidak mengalami penyurutan.
Pekerjaan rumah untuk Padang masih banyak, di tengah ancaman bencana. Para ahli gempa telah memperingatkan potensi gempa dan tsunami jika megathrust Mentawai melepaskan energinya, kekuatan sampai 8,9 skala Richter.
Bandingkan dengan Jepang
Semua orang tahu, soal peringatan dini bencana, Jepang belum tertandingi. Tapi toh Negeri Sakura terpukul dengan musibah gempa dan tsunami 11 Maret 2012. Sebanyak 20.000 orang tewas, Jepang menghadapi krisis nuklir terparah sejak bom atom jatuh di Hiroshima dan Nagasaki.
Namun, seandainya bukan di Jepang, untuk bencana sedahsyat itu, jumlah yang tewas bisa berkali lipat. Patrick Corcoran, ilmuwan dari Oregon State University memperkirakan, jika terjadi di tempat lain, korban gempa berkekuatan 9,0 Skala Richter yang disusul tsunami bisa mencapai 200 ribu orang.
Rahasia Jepang menyelamatkan ribuan nyawa ada pada peringatan dini. Di Tokyo, tayangan siaran langsung dari gedung parlemen tiba-tiba berganti menjadi siaran peringatan dini, bahwa tanah yang mereka injak akan segera berguncang hebat.
Beberapa menit sebelum guncangan besar terjadi, sistem peringatan mengirimkan jutaan pesan pendek langsung ke ponsel warga. Stasiun kereta dan pabrik sontak menghentikan operasi dan melakukan tindakan pengamanan, setelah menerima surat elektronik berisi peringatan.
"Bahkan satu menit, bisa menentukan," kata Dr. Tom Jordan, Kepala Pusat Gempa Bumi California Selatan, seperti dimuat situs 10 News. "Bayangkan, jika Anda dokter yang sedang melakukan operasi, atau ketika Anda berada di lift. Kesempatan menit, atau detik, bisa jadi penyelamat."
Dia menerangkan, gempa bumi sejatinya mengirimkan dua gelombang energi. Yang pertama, gelombang P, getarannya lemah namun menjalar sangat cepat. Gelombang ini akan mengaktifkan seismometer di seluruh wilayah dan mengirimkan sinyal peringatan bahwa gelombang yang lebih kuat, disebut gelombang S, akan segera datang.
Sementara seperti dimuat VOA News, pemerintah Jepang mengirimkan peringatan tsunami tiga menit setelah gempa terjadi 11 Maret 2011 lalu.
Jepang menginvestasikan uangnya untuk membangun lebih dari empat ribu alat pengukur seismik yang tersebar di seluruh negeri. Juga membangun benteng beton tebal yang memagari wilayah pesisir.
Dan yang tak kalah penting, masyarakat Jepang tahu persis apa yang harus mereka lakukan saat bencana terjadi.
sumber