Rabu, 12 Oktober 2011

MENYUSUPI REKAH BUMI

Orang Swiss memiliki gunung, jadi mereka mendakinya. Orang Australia punya ngarai, jadi mereka menelusuri ngarai, bentuk kegilaan hasil persilangan mendaki gunung dan menjelajah gua. Tetapi alih-alih naik, pelakunya turun, sering kali melalui terowongan basah dan lorong yang sempit. Tak seperti tempat berngarai sempit lainnya—sebut saja Yordania, atau Corsica—Australia memiliki warisan penjelajahan ngarai yang kaya dan sangat dalam. Dapat dikatakan, ini merupakan bentuk wisata alam ekstrem, sesuatu yang dilakukan kaum Aborigin puluhan ribu tahun sebelum bangsa Eropa tiba.

Sekarang mungkin ada ribuan orang Australia yang melakukan penjelajahan ngarai, ratusan yang menuruninya dengan tali, tetapi hanya sedikit yang menjelajahi ngarai baru. Orang-orang nekat ini biasanya memiliki kaki pemain bola, lutut penuh parut akibat luka goresan, tahan air dingin seperti penguin, dapat melompat lincah dari batu ke batu seperti walabi, dan bersedia merangkak ke lubang gelap dan lembap seperti tikus gua. Mereka suka memakai Volley—sepatu tenis kanvas bersol karet buatan Dunlop—celana pendek belel, selubung sepatu robek, dan baju wol murahan. Mereka berkemah di samping api unggun kecil dan membuat jaffle untuk sarapan, makan siang, dan makan malam. Jaffle adalah roti lapis yang berisi segala macam bahan yang dimasak dalam pemanggang besi. Hal yang paling penting, mereka mencari ngarai yang paling terpencil dan sulit didatangi. “Semakin gelap, semakin sempit, semakin berseluk, makin baik,” kata Dave Noble, salah satu penjelajah ngarai paling berpengalaman di negara ini.

Selama 38 tahun terakhir, Noble menuruni sekitar 70 ngarai di Pegunungan Blue, hanya beberapa jam berkendara di barat Sydney. Daerah terjal yang tak biasa ini memiliki ratusan ngarai sempit. “Blueys”—sebutan orang Australia untuk Pegunungan Blue—sebenarnya bukanlah gunung, tetapi dataran tinggi sedimen kuno yang terkikis oleh sungai dan tertutup hutan kayu putih yang lebat.

Noble, pria 57 tahun yang eksentrik ini, tidak pernah mengendarai mobil. Dia bersepeda hampir 30 kilometer sehari melalui pinggiran kota Sydney untuk mengajar fisika sekolah menengah. Meskipun dia telah menggambar peta topografi yang penuh catatan ngarai yang pernah dijelajahi dan dinamainya—seperti Cannibal, Black Crypt, Crucifixion, dan Resurrection—dan memajang gambar ngarai tersebut di situs webnya, dia tidak mau memberitahu letak ngarai tersebut kepada siapa pun. Dia bahkan tak mengizinkan saya melihat petanya dengan saksama. “Ini aturan kami,” katanya. “Ngarai liar harus dibiarkan tak diketahui agar tetap murni, dan agar orang lain bisa punya tantangan penjelajahannya sendiri.”

Saingan utama Noble dalam bidang ini adalah penjelajah ngarai Rick Jamieson. Noble tak menyukainya karena beberapa tahun yang lalu dia menulis buku panduan yang mengungkap beberapa rahasia lanskap ngarai. Lebih dari satu dasawarsa lalu, Jamieson yang juga seorang guru fisika mengajak saya untuk pertama kalinya menuruni dua ngarai besar di Blueys sampai ke dasarnya, Jurang Bennett dan Orongo. Pria besar dan ramah berusia 70 itu masih menjelajahi ngarai dan tertawa saat bertemu.

“Keren!” seru Jamieson dengan aksen Australianya yang kental ketika kami bertemu untuk minum bir. “Untunglah GPS tidak berfungsi di dalam ngarai. Jadi tetap menarik.”
Penjelajahan ngarai oleh orang kulit putih dimulai pada 1940-an, tetapi ngarai sempit yang terbesar baru dijelajahi pada 1960-an, saat mereka mulai menggunakan tali panjat dan peralatan modern. Ngarai Kali Danae, tersembunyi di jantung labirin Pegunungan Blue, merupakan salah satu yang tersulit. Dalam buku panduannya Jamieson menggambarkannya sebagai “hari yang sangat, sangat panjang”. Di ngarai ini penjelajah harus melakukan sembilan atau lebih abseil—meluncur ke bawah dengan tali—dengan tingkat kesulitan tinggi. Jamieson maupun Noble pernah melakukannya, tetapi keduanya tak bisa menemani saya. Untungnya John Robens yang kecil-kecil cabe rawit berminat mencobanya.

Kami bertemu di rumahnya di Sydney. Setiap akhir pekan selama sepuluh tahun terakhir, Robens yang berusia 39 tahun biasanya keluar kota untuk menjelajahi ngarai di pedalaman. Robens, konsultan komputer dengan rambut awut-awutan, suka bercanda, dan bersuara lembut ini sama seperti Noble. Ia biasa bersepeda melalui jalan-jalan kota. Pahanya yang seperti paha juara dunia balap sepeda merupakan buktinya. Dia tinggal bersama istrinya—Chuin Nee Ooi, juga penjelajah ngarai elite dan sesama pemrogram komputer—di sebuah rumah mungil tengah kota. Sebuah kotak kayu besar di teras kecil dipenuhi oleh sepatu-sepatu Volley usang.

Robens dan saya berkendara ke arah barat dari Sydney selama empat jam, berkemah di Taman Nasional Kanangra-Boyd, dan saat fajar menyingsing berangkat menyusuri jalur api Gunung Thurat. Kami membawa pakaian selam, tali, dan makan siang dalam ransel. Setelah melintasi Kali Kanangra, kami masuk ke alam liar tanpa jalan, hanya berpandu peta dan GPS. Penjelajah ngarai juga memiliki kemampuan berjalan cepat melalui semak yang sulit ditembus; Robens meluncur melalui belukar dengan begitu mudah sehingga sulit diikuti. Dengan mengikuti arah kompas, kami melompati pepohonan dan cabang yang tumbang dan menyibak semak samun, melintasi sawang raksasa sementara laba-laba sebesar tikus merayap di leher kami.

“Ini hanyalah laba-laba yang hidup di sini dan dapat membunuh manusia,” ujar Robens dengan riang.

Tak sampai satu jam kemudian, Robens membawa kami tepat ke puncak Air Terjun Danae, meskipun dia belum pernah ke sini sebelumnya. Sungai kecil mengalir ke tepi dataran tinggi itu dan melayang bebas.

“Abseil pertama kita dari sana,” kata Robens sambil menunjuk ke sebuah pohon menjorok ke atas jurang. Kami mengenakan pakaian kedap air yang lengket, mengencangkan helm, memasang alat pengaman tubuh, lalu terjun ke awang-awang. Ini seperti melakukan luncuran dari tepi Grand Canyon yang berselimut tumbuhan hijau.

Pada ketinggian ini, Sungai Danae belum mengikis permukaan batu terlalu dalam, sehingga kami meluncur turun melintasi kabut percikan air di samping air terjun dengan kaki tergelincir di dedaunan pakis raksasa. Pada abseil berikutnya Danae menciptakan celah dengan lebar satu meter lebih sedikit, tetapi melebar hingga 15 meter di dasarnya. Kami menuruni bagian belakang retakan itu, sambil menatap garis vertikal langit biru.

Di puncak luncuran ketiga, kami berada jauh di dalam ngarai gelap itu, berdiri di tubir basah yang licin di tengah air terjun.

Dinding ngarai tertutup lumut. Masuk ke dalam batu raksasa itu ternyata seperti masuk ke lubang lift sepuluh lantai yang sempit sambil diguyur air. Kami terpaksa berayun ke dalam air terjun yang deras, manuver konyol yang melemparkan kami berdua ke batu.

Ngarai menyempit di bawah batu besar ini dan air berkilau mengalir menyusur ruang gua menuju tepi tebing. Masih ada ruang kosong sejauh 300 meter di bawah kami. Kami langsung meluncur ke air terjun yang ganas. Saya membuat kesalahan dengan menengadahkan muka. Hantaman air nyaris membuat kepala copot.

Tiga luncuran berikutnya sama luar biasanya. Kemudian sampailah kami di kolam gantung, seperti kolam renang di tengah gedung pencakar langit.

Pukul 10 pagi, kami makan siang bersama di atas batu yang dihujani sinar mentari dengan seekor naga air Australia (Physignathus lesueurii), kadal sepanjang setengah meter dengan jengger mencolok mirip dinosaurus, dan minum langsung dari Sungai Danae yang dingin dan lezat. Kemudian kami berdua melepaskan pakaian selam kami.
Robens santai saja meneruskan perjalanan tanpa busana, sementara saya mengenakan celana nilon berat. Dua minggu sebelumnya di ngarai lain saya tanpa sengaja menginjak pohon jelatang, tanaman mengerikan yang menyengat seperti nettle (Urtica dioica) dan menyebabkan ruam menyakitkan yang tidak hilang dalam sebulan. Saya terkena di tempat yang memalukan.

Berikutnya, beberapa luncuran pendek dan dua loncatan besar. Robens melompat dari batu, melolong seperti orang liar, lengan dan kaki terentang di udara dan baru dirapatkannya bak kupu-kupu mendarat menjelang sampai ke permukaan air enam meter di bawah.

Saat kami sampai ke dasar, Danae berubah menjadi hamparan batu yang terjal. Di sana, tak mengenakan apa pun selain ransel dan sepatu tenis, Robens berlari. Sambil tersandung dan jatuh, saya mengamati Robens menari dan melompat seakan dia terlahir untuk itu.

Di muara Sungai Danae dan Sungai Kanangra, berakhirlah penurunan kami. Namun, seperti pendaki yang mencapai puncak, kami belum bisa merayakannya. Dalam penjelajahan ngarai, semua yang turun harus naik lagi. Kami menyeberangi sungai, istirahat selama sepuluh menit, kemudian mulai pendakian melintasi semak belukar yang menyiksa. Lerengnya begitu curam sehingga kami harus berpaut dari satu cabang ke cabang yang lain.

Dengan badan bersimbah keringat, sampailah kami di dataran tinggi Pegunungan Gangerang yang menjorok, tepat di seberang Ngarai Sungai Danae. Kami berjabat tangan dan berteriak. Dari sini kami bisa mengikuti Pematang Kilpatrick dan perjalanan akan mudah.

Saat berjalan membelakangi matahari di jalur itu dan membayangkan jaffle dengan alpukat-tomat-prosciutto-provolone yang akan saya masak di api unggun nanti malam, dengan perasaan hangat dan lelah, tubuh dan pikiran saya tersucikan dengan menuruni Danae, saya melihat Robens menyimpang masuk ke hutan.

“Ada yang ingin kutunjukkan,” katanya sambil membelakangi. Kami meringkuk di tonjolan batu pasir di tepi tebing, dan tiba-tiba di hadapan kami terlihat peninggalan lukisan batu Aborigin. Sebaris sosok yang dilukis dengan warna merah oker, jelas tanpa busana, tangan dan kaki mereka terentang, semuanya jelas bersuka cita.

sumber:http://nationalgeographic.co.id/feature/237/menyusupi-rekah-bumi